Rabu, 09 Maret 2011

Jaminan Kompensasi PHK dan Keberlangsungan Dunia Usaha

Jaminan Kompensasi PHK dan Keberlangsungan Dunia Usaha

Juni 26, 2008
 Sumber : APINDO
Sepanjang tahun 2007 isu jaminan kompensasi PHK dan keberlangsungan dunia usaha menjadi isu krusial yang menjadi soroton utama banyak pihak khususnya dari kalangan dunia usaha, pekerja/ buruh dan pemerintah.
Hal ini semakin menghangat ketika Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Program Jaminan Kompensasi PHK dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Perhitungan Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak mulai digulirkan oleh pemerintah. Bagaimana sebenarnya sikap dunia usaha terhadap jaminan kompensasi PHK untuk keberlangsungan usaha mereka?
Jaminan Kompensasi PHK (sering disebut pesangon) mempunyai arti sangat penting bagi dunia usaha. Bagi pengusaha, pesangon pada dasarnya adalah biaya yang harus dibayarkan kepada pekerja/buruh sebagai kewajiban bila terjadi PHK. Pesangon seutuhnya merupakan biaya kompensasi PHK yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Kompensasi PHK merupakan salah satu dari beberapa Jaminan Sosial Tenaga Kerja, oleh karena itu perlu kajian yang komprehensif dan terintegrasi termasuk didalamnya harmonisasi dan penyempurnaan peraturan perundangan.
Disamping kebijakan pengupahan, kebijakan kompensasi PHK manfaat pasti yang merupakan fungsi turunan gaji, berakibat mempengaruhi iklim investasi dan penciptaan lapangan kerja. Besaran kompensasi PHK berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan termasuk salah satu tertinggi di dunia. Bila dilihat secara seksama, besaran kompensasi PHK di UU No. 13 Tahun 2003 ini naik 2 (dua) kali lipat dari kebijakan tahun 1996 dan 3 (tiga) kali lipat dari kebijakan tahun 1986. Tingginya kompensasi PHK manfaat pasti akan lebih menguntungkan pekerja berpenghasilan tinggi ketimbang meningkatkan kesejahteraan pekerja berpenghasilan rendah. Seyogyanya kebijakan ini ditinjau lagi dan disesuaikan agar lebih adil dan setara dengan negara lain.
Kebijakan kenaikan uang pesangon secara signifikan dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat dimana penciptaan lapangan kerja menjadi prioritas adalah kebijakan yang tidak tepat. Sementara banyak negara di Amerika Latin mereformasi uang pesangon, di Indonesia justru sebaliknya – mengambil kebijakan yang berlawanan dengan menaikannya secara sangat signifikan.
Kompensasi PHK
Besaran Kompensasi PHK menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebesar +/- 13% upah (hasil penelitian Universitas Padjadjaran Bandung) adalah terlalu besar baik bagi pemberi kerja maupun dalam praktek bisnis pada umumnya. Komposisi dari 13% tersebut terdiri dari uang pesangon 9 %, uang penggantian hak 1,5 % dan uang penghargaan masa kerja 2,5 %. Dari besaran ini, jika ditelaah lebih lanjut maka akan diketahui bahwa penghargaan masa kerja tumpang tindih dengan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun (substansi sama nama berbeda).
Tujuan, alokasi besaran, dan sifat manfaat (manfaat pasti / iuran pasti) atas kompensasi PHK tidak tepat. Pesangon dan uang penggantian hak seharusnya didefinisikan sebagai uang tunggu untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Besaran maximum adalah 6 bulan disesuaikan dengan masa kerja dan tingginya upah (ketentuan ceiling atau degresif sesuai PTKP). Diperkirakan alokasi untuk ini adalah sekitar 2-3% upah. Penghargaan Masa Kerja (PMK) lebih tepat ditempatkan dalam posisi Dana Pensiun Wajib (Public Pension Fund). Kontribusinya menyesuaikan dengan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dilakukan sharing dengan Pekerja.
Pemisahan dana pensiun yang bersifat publik (Public Pensiun Fund) yang wajib dan dana pensiun privat (Private Pension Fund) yang bersifat sukarela. Dana pensiun publik sifatnya wajib dan kontribusinya sharing antara pemberi kerja dan pekerja – menyesuaikan dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Porsi pemberi kerja mungkin 7-10% upah (sebagai kompromi penyesuaian UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) namun ada batasan ceiling. Untuk level gaji diatas ceiling – pemberi kerja tidak wajib berkontribusi. Porsi gaji diatas ceiling ini diatur dalam dana pensiun privat yang sifat kontribusinya sukarela.
Dana pensiun seyogyanya menganut manfaat: iuran pasti (seperti yang ada sekarang) dan manfaatnya dibayarkan secara berkala. Dana pensiun manfaat pasti sangat berpotensi insolven dimasa mendatang sebagaimana terjadi di banyak negara lain (catatan: Taspen juga menganut manfaat pasti dan saat ini dalam posisi insolven). Penyesuaian dana pensiun dari manfaat pasti ke iuran pasti berarti harus merevisi UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Usulan ini diharapkan tidak merubah % besaran manfaat (kecuali bagi penghasilan diatas batas ceiling) namun hanya merelokasi besaran manfaat dan saat pemberian manfaat agar kompensasi PHK lebih proporsional dan bermanfaat.
Bagi pengusaha, memberikan tanda penghargaan yang dikaitkan dengan berakhirnya hubungan kerja pada dasarnya tidak menjadi masalah. Namun dalam praktek perundang-undangan sekarang, biaya pengakhiran hubungan kerja menjadi beban yang disebabkan karena pengaturan yang tumpang tindih, misalnya beberapa istilah terkait yang notabene adalah “cost” bagi pengusaha, yaitu : program pensiun dikaitkan dengan usia, jaminan hari tua dikaitkan dengan usia, kompensasi PHK (UP, UPMK, UPH) disamping dengan usia (masa kerja) juga terkait dengan PHK oleh berbagai sebab dan alasan. Bila semua hal-hal tersebut di atas akan disatukan dengan program asuransi kompensasi PHK, idealnya tidak ada istilah atau sistem yang lain yaitu asuransi PHK
Rekomendasi Tim Kajian Akademis
Jika mengacu kepada rekomendasi Tim Kajian Akademis 5 Universitas (UGM, UI, USU, Unpad dan Unhas) terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya terkait masalah PHK dan pesangon maka perlu dipikirkan kembali besaran Uang Pesangon (UP) & Uang Penghargaan Masa Kerja(UPMK) dalam UU 13/2003 yang berlaku tanpa terkecuali. Bila upah pekerja cukup tinggi dan masa kerja lama maka kompensasi PHK yang harus dibayarkan akan memberatkan pengusaha dan ini tidak sesuai lagi dengan semangat pemberian yang diperuntukkan bagi penghargaan masa kerja dan kompensasi biaya sosial akibat status dari bekerja menjadi menganggur serta fungsi uang pesangon sebagai safety net.
Besaran uang pesangon yang dirasa memberatkan bagi pengusaha yang tercantum dalam Pasal 164 (3) UU 13/2003 perihal PHK disebabkan efisiensi diusulkan untuk dihilangkan dengan pertimbangan efisiensi ekonomi di Indonesia akan menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan negara dikawasan Asia lainnya.
Perkembangan RPP Kompensasi PHK
Pasal 156 ayat (5) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ha tersebut Pemerintah mengeluarkan 2 (dua) Rancangan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Kompensasi PHK, yaitu : RPP tentang Program Jaminan PHK dan RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja. RPP Kompensasi PHK ini dianggap sangat penting bagi dunia usaha khususnya untuk peningkatan iklim investasi dan daya saing dalam berusaha di Indonesia serta memberikan kepastian hukum (jaminan) pembayaran kompensasi PHK dalam hal terjadi PHK.
Sikap APINDO-KADIN terhadap RPP Kompensasi PHK
APINDO dan KADIN Indonesia sangat berkepentingan dalam pembahasan RPP Kompensasi PHK. Diharapkan dengan adanya RPP mengenai Kompensasi PHK yang memberikan manfaat lebih baik bagi dunia usaha akan membantu peningkatan iklim investasi di Indonesia. RPP Kompensasi PHK nantinya harus tidak lebih memberatkan dari pada aturan dalam Pasal 156 ayat (2),(3) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pada awal pembahasan mengenai RPP Pesangon, APINDO dan KADIN Indonesia mengambil sikap sebagai berikut : Pesangon maksimal 6 bulan upah, ceiling wages 5 (lima) kali PTKP, yang dicover hanya uang pesangon saja, UPMK dan UPH diselaraskan dengan UU terkait, yaitu UU Jamsostek dan Dana Pensiun serta kewajiban bayar bagi perusahaan yang labor intensif hanya 1 (satu) kali uang pesangon. Dalam perkembangannya, APINDO dan KADIN Indonesia melakukan kajian lebih mendalam dengan melibatkan Asosiasi Asuransi dan Asosiasi DPLK. Dari hasil penghitungan sementara didapatkan data bahwa beban yang harus ditanggung pengusaha dalam hal terjadi PHK sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan apabila diasuransikan masih tetap besar.
Prospek RPP Kompensasi PHK
RPP Kompensasi PHK secara prinsip harus tetap mengacu kepada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (5) “Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” dan tidak menghidupkan Pasal 6 ayat (2) UU 3/1992 tentang Jamsostek.
Idealnya kompensasi PHK dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja memperoleh hak-haknya. Kekhawatiran yang muncul bila kompensasi PHK ini dianggap terlalu membebani, maka nasibnya akan sama dengan UU Jamsostek (saat ini hanya 25% perusahan yang mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek). RPP Kompensasi PHK ini seharusnya mengarah ke penciptaan iklim investasi yang lebih baik dengan tidak memberatkan dunia usaha. Jika seluruh aspek baik positif maupun negatif terkait dengan RPP Kompensasi PHK ini dapat diperhatikan dan dan dijalankan dengan sebaik-baiknya, diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi carut marut hubungan industrial di Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan kelangsungan dunia usaha
bisnis paling gratis